Kamis, 29 November 2018

Puisi-puisi Antologie Mblekethek 31-36

31.

Heru Marwata
Dunia “Mblekethek”

mblekethek begitu dekat dengan lethek
lethek bersaudara sepupu dengan yang bikin eneg
pembuat eneg juga slalu gak bisa mikir jejeg
lethek, bikin eneg, tidak jejeg, rasa mblekethek

dunia blekethek penuh mbelthut
ibarat kentut ampasnya katut
tak keluar sempurna karena nyangkut
omongane jian babar blas ora patut

mblekethek kaya banyu comberan
reget tur ambune gak karuan
sulit bedakan kritik dan umpatan
tergantung pada siapa yang mengatakan

mblekethek donyane lethek
akeh wong nyatur gak nganggo utek
kupinge loro nanging kabeh buntet kopoken lan budhek
upama sega kang wis wayu neng weteng marahi mbedhedheg

dunia mblekethek, dunia tanpa rasa
merekam waktu pada masa pancaroba
segala hal dikaitkan dengan selera
kesan sesaat berbalut nafsu berkuasa

dunia mblekethek, donyane blekethekan
akeh peceren duwe tutuk isa caturan
donya mblekethek, akeh pasulayan
rebutan bener apa wae gak kebeneran

Yongin-Korea, #pondokilusikatatanpaarti, 30102108









Heru Marwata (HM si Tahu Bulat), orang Yogya, asli Jawa, lahir dan besar di Ngayogyakarta Hadiningrat. Staf pengajar di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM yang sekarang menjadi Visiting Professor di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Global Campus, Yongin, Korea Selatan ini ingin sekali berkeliling dunia dalam bingkai kata-kata. Ia hanya penggemar kata-kata sederhana yang selalu mencoba berkarya menandai eksistensinya di dunia sebagai rasa syukur atas anugerah-Nya.




32.
Alhendra Dy
Yang
Yang buta itu aku,
Masih juga sanggup berkacak pinggang
Menantang kodrat
Seolah raja yang tak akan turun tahta,
Sombong !
Yang nista itu aku,
Enggan membungkus sangu
Bekal menapak masyar menuju telaga kautsar
Antara surga dan neraka
Beranggap dunia abadan akhirat hayalan
Songong !
Yang buta itu aku,
Tak jua jera merambah rimba dunia
Yang isinya itu ke itu juga
Sedangkan aku acap meluntasinya
Menancapkan rambu di setiap tegus ajar,
Zonk !
Yang kafir itu aku,
Terkatup rapat oleh fakta
Kubur berendam bangga dalam kubangnya
Menyuarakan suka duka sedang sedang cerita menjadi lain
Tak juga membuka mata hati lantas bangkit beranjak lalu pergi,
Plong !
Jangan gelapkan langitku Tuhan
Meskipun aku berjalan sendiri
Tak ada siapa yang salah
Hingga waktu mengakhiri.
Bangko, 291018

Alhendra Dy

Kado Tuhan

Kado ini aku bungkus rapi dalam rapuh
Tak akan aku buka sebelum datang waktu menjemput
Suka atau tidak begitulah adanya
Tak ada apa-apanya.

Kado ini adalah bingkisan kehidupan
Bekal menuju keabadian.

Tak Ada Ziarah Lagi

Lah semak jalan menuju ke pemakaman
Nisan-nisan tercabut
Kamboja berguguran
Rembulan mati,
Kelam.
Air kembang muai
Kembang tujuh warna melayu,
Hitam.

Tak ada ziarah lagi
Tak akan pernah ada.


Alhendra Dy, berusia 48 tahun, adalah penduduk kampung dari Bangko-Merangin-Jambi. Sejak tahun 1990 rela mendedikasikan usianya hanya untuk seni dan berkesenian.


33.
Sami’an Adib
Teatrikal

di sebuah jembatan dengan luap air yang membesar
sesaat setelah hujan menderai ribuan kabar
tentang air yang tak menemukan sulur akar-akar

orang-orang berdatangan saling berdesakan
menyaksikan air bah dari sisi jembatan
lupa kalau peristiwa ini sebuah peringatan

keriap air menampar tumpukan sampah yang tiba-tiba menjulang
melampaui permukaan sungai, meliuk-liuk menjelma kubang
dan dentum batu-batu yang saling beradu mencipta gaung

jerit kematian tiba-tiba melengking bersahutan
gelondong kayu menghantam tiang penyangga jembatan
yang beberapa waktu lalu diresmikan pejabat setempat

sebuah pertunjukan paling teatrikal
menyisakan tumpukan sampah peradaban:
batu-batu beton reruntuhan jembatan
bongkol kayu dengan akar kaku bekas pohon-pohon
hutan yang sengaja ditanduskan
plastik yang terus menerus dilarung
di sepanjang alur aliran sungai yang kian mengeruh

Semua membisu
semua membatu
tak ada yang peduli
pejabat yang dulunya berapi-api menebar janji
untuk membangun kampung, meretas desa, menata kota
tak kelihatan entah studi banding ke negara mana
konglomerat yang dengan lihainya merayu pejabat
lewat dalih eksplorasi hutan demi kemakmuran rakyat
menghilang bersama keping-keping muslihat
yang sejak mula disembunyikan di balik senyum seribu pikat
hanya lalat yang benar-benar peduli
menjadi penanda bagi mayat-mayat yang perlu dievakuasi
Jember, 2018















Sami’an Adib

Telanjang
1/
ditemani perempuan-perempuan genit yang mahir merapal mantera rayuan
kau, tuan penguasa, duduk bersila di tepi peti mati memulai ritual perburuan
bersulang anggur darah dari saudaranya yang sengaja dijadikan sapi perahan
2/
perempuan-perempuan berlidah api itu gemulai menjinjing seikat kembang
sedangkan kau mabuk di sampingnya, limbung menahan erang dan gelinjang
seketika cemar malam menebar nista di setiap  nganga lukamu yang meradang
3/
kau peram segenggam bara di balik sampir pelacur yang nyaris mati kelaparan
sebagai derma atas kuasa yang tahta rumuskan dalam butir-butir pelampiasan
lalu dengan dua-tiga hitungan kaumainkan orkestra jerit yang tak terumuskan
4/
diam-diam engkau menyelinap keluar dari kamar api yang kausangka penuh bidadari
sambil memanggul serpih kemenangan dalam buntelan selendang yang dulu kaucuri
entah apa yang tersisa, tapi dari caramu menyeringai pasti banyak orang tersakiti 
5/
seakan tanpa sesal, dari atas singgasana kau dongengkan kepongahan diri
juga tentang anak-bininya yang selalu sempurna mendapat asupan nutrisi
meski dari sehimpun jarahan dan ragam upeti
6/
entah pada simpang mana akan kautemukan gerbang kembali
pijakan awal menilasi ulang jalan ilahi yang sempat kauingkari
melepas semua kemewahan atribut: selubung bagi bening nurani
Jember, 2016









Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Alumni Fakultas Sastra Unej. Karya-karya tersebar di beberapa media massa. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Buat Gaza (Gempita Biostory, Medan, 2013), Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim (Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015), Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa (Universitas Jember, Jember, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi(Disbudparpora Kota Banjarbaru-Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Lumbung Puisi IV: Margasatwa Indonesia (2016), Memo Anti Kekerasan terhadap Anak (Forum Sastra Surakarta, 2016), Ije Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017),  Negeri Awan (DNP 7, 2017),  Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017),  Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry Prairie 2017), Negeri Bahari (DNP 8, 2018), Lumbung Puisi VI:Indonesia Lucu (2018), Kepada Toean Dekker (2018), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.


34.
Jen Kelana
Membingkai Riwayat Rinai
Ada yang memperdaya cuaca
pada sengkarut riwayat yang lara
memanipulasi duka

Ooo, siapa yang mengumbar kata?
tentang harga-harga dan segala rupa
bahan bakar naik lagi, naik lagi
tetapi tetap saja membeli

Ah, siapa yang menukar kata?
tentang luka dan segala nestapa
Lombok, Palu, Donggala, Sigi
tetapi tetap saja basa-basi

Lalu kemarau bergerigi rinai
doa luruh membingkai empati
pada kita semua anak negeri

Bangko, 12 Oktober 2018



 Jen Kelana
Ritual Senja Sunyi

hari tetaplah sunyi
api sibuk mengelabui mimpi
o, pulangkan rindu segera
usah kau semai lara yang fana
kisahkan ritual senja sedikit saja

ketika sepetak ruang mengikis waktu
aku diam menyisir takdir
repetisi sepi memantik resah
luka melumer gairah

hari masih juga sunyi
api setia menanak mimpi
RSUD, 25 Oktober 2018. 17:10
Jen Kelana,  Lahir di Nganjuk, besar di Sumatera Utara dan Jambi. Menulis puisi, cerpen, feature, esai, artikel, dan karya ilmiah. Pernah mengikuti berbagai pertemuan sastra. Puisi dan cerpennya terangkum dalam antologi tunggal dan bersama, selain itu sebagian karyanya juga dipublikasikan di media cetak dan media digital. Hobby elektronik, hardware, software, komputer dan web develover di samping menekuni bidang matematika, statistika, dan penelitian pendidikan.


35.
RB. Edi Pramono

Janji Kembang Api
(Negri Mblekhetek)

dulu, prabu Kertanegara bersumpah cakrawala mandala dwipantara
tanah Jawa musti seluas Nusantara
ia tundukkan Sumatera, Melayu, Kalimantan
kecuali Sulawesi dan Papua
ia pun bergelar Maharajadhiraja
sumpah dan janji ia penuhi

dulu sang mahapatih Gajahmada amukti Palapa
manca negari di seberang lautan musti menghantarkan upeti
bersimpuh pada negri Majapahit yang sakti
amukti Palapa terbukti, janji yang mewujudkan diri

kucari jiwa ksatria mereka pada janji janji masa kini
pada Soekarno kutemui janji pada Aceh yang dilukai
pada pemimpin negri ini kutemui janji kembang api
sebentar berpendar menyenangkan mata
kemudian lenyap dibungkus lupa dan luka
maka jangan bertanya tentang jiwa ksatria

bacalah berita, lihatlah TV, dengarlah radio
akan kau temui beribu janji dari para pemimpin negri
janji janji kembang api

Yogyakarta, 30 Oktober 2018

RB. Edi Pramono

Apa Yang Musti Kuajarkan
(Negeri Mblekhetek 2)

apa lagi yang musti aku ajarkan di kelas
kecuali materi padat yang membuat jiwa penat
aku tak bisa bercerita tentang keteladanan
aku tak bisa berceloteh tentang jiwa ksatria
untuk mereka kelak memimpin bangsa

yang tersaji hanyalah para badut dengan sederet gelar:
kepala dinas, kepala departemen, direktur, menteri, Menko
bahkan hingga presiden
semua berkata-kata lucu penuh sembilu
semua bertingkah kocak yang bikin muak
betapa lidah sudah demikian murah

ajining raga amarga busana, ajining dhiri amarga lathi
pada busana keberadaan punya harga
pada kata-kata martabat dan kehormatan disangga
demikian jalan seorang ksatria
jangan kalian cari sekarang pada mereka di media massa
yang mengaku sebagai pengemban amanah bangsa

lihat, mereka tak malu menjilat ludahnya
lihat, mereka tak jijik menelan kembali taiknya
lihat, mereka berlomba menghias dusta
lihat, lihat, sebab mereka tak lebih dari sekedar boneka

apa yang musti kuajarkan tentang negri ini kepada mereka?
kututup buku saja
menyingkir mengosongkan kepala

Yogyakarta, 30 Oktober 2018



























36.
Carmad
Sajakku Sirna

Hatiku kalut otakku cemberut
Besok pintu syair kan ditutup
Sebulan penuh mengsis tajuk
Namun hampa yang ku peluk

Ku coba rayu embun pagi
Agar pucuk-pucuk rumput sudi berbagi
Namun basah jua yang tersisa
Sajak indah belum tercipta

Pada tabung kaca aku menyapa
Pada lembar-lembar cahaya
Cerita-cerita yang mereka warta
Hanya membuat baitku sirna

Detak waktu memburu nadiku
Tersisa beberapa jengkal saja
Belum juga sempurna diksi
Meski otak ku peras dan ku caci

Malaikat-malaikat kecilku bernyanyi
Minta suguhan sekerat nasi
Perutku makin mbelelethek saja
Puisiku belum jua sempurna
(indramayu, 30-10-18)





Merpati Senja

Kau datang saat mereka hendak lelap
Kicauan-kicauanmu pula jadi nyanyian tidur
Cerita tentang negeri seberang
Negeri kaya lagi periang

Senja itu kau menyapa
Suguhkan kisah duka rakyat di sana
Tentang lara bumi bergolak
Tentang laut yang amat galak

Sepuas hati kau tumpah kicau
Kaupun pergi ke lubuk khayal
Tinggalkan gaduh dan risau
Sirnakan damai yang semula terkawal

Senja ini kau siar warta
Tentang simbol Tuhan yang Esa
Tentang mereka yang membela bendera
Dan mereka yang menunggang kuda

Kapan kau kembali lagi
Kan ku buat kau jadi hidangan
Biar damai kembali bersemi
Dan malam menjadi berarti
(indramayu, 30-10-18)






CARMAD, pria kelahiran Indramayu 21-08-1986. Masih menjabat sebagai pimpinan perusahaan sekaligus koki dan marketing Batagor Keliling. Pernah lulus SMA N 1 Kandanghaur-Indramayu pada 2006, Gagal meraih gelar S1 karena faktor eko. Sekarang masih mondok di rumah mertua di KP. Karangturi RT. 01 RW. 07 Ds. Rajasinga Kex. Terisi Kab. Indramayu