Jumat, 08 Mei 2015

Resensi Fahmi Irhamsyah: Resensi Buku Sejarah Kuasa Jepang di Jawa (1942-1945)

Layak dibaca kalangan pendidik dan sejarahwan
Resensi Fahmi Irhamsyah:
Resensi Buku Sejarah Kuasa Jepang di Jawa (1942-1945)
Buku ini merupakan disertasi Aiko Kurasawa dalam memperoleh gelar Ph.D. di Cornell University Amerika Serikat pada tahun 1988. Disertasi Asli Aiko berjumlah 776 halaman dengan judul Mobilization and control : A study of social change in Rural Java (1942-1945). Diterbitkan pertama kali di Jepang pada tahun 1992 dengan Judul Nihon Senryoka no Jawa Noson no hen’yo (Tokyo:Sosisha, 1992) “Transformasi pedesaan di Jawa pada masa Pendudukan Jepang”. Pada penerbitan perdananya di Jepang buku ini memiliki ketebalan 714 halaman.
Menurut Aiko Kurasawa saat penerbitan perdananya buku ini bukanlah tanpa masalah, Aiko menjelaskan bahwa di awal penerbitannya Aiko banyak di cap sebagai komunis oleh pemerintah Jepang –khususnya kelompok birokrat tua- sebab dalam penulisannya Aiko cenderung menggunakan pendekatan Indonesia sentris, bukan Jepang Sentris sehingga ketika menjelaskan tentang pendudukan Jepang di Jawa misalnya, gambaran Jepang sebagai penjajah sangat terlihat. Hal ini menimbulkan ketidak sukaan pemerintah Jepang pada Aiko, sebab bagi Jepang kehadiran mereka ke Jawa justru membantu Indonesia terbebas dari penjajahan Belanda. Mengapa? pemerintah Jepang beralasan mereka berkontribusi dalam mendidik militer dan mengenalkan sistem pertanian modern di Jawa sehingga bangsa Indonesia siap untuk merdeka.
Komunitas Bambu menerbitkan buku ini pada bulan Januari 2015. Tanggal 27 Februari 2015 Komunitas Bambu bekerja sama dengan Freedom Institute mengadakan diskusi dan launching buku ini. Pada kesempatan tersebut buku setebal 611 halaman ini diulas oleh Prof. Aiko Kurasawa sebagai penulis dan Prof. Susanto Zuhdi sebagai reviewer.
Batasan Penelitian
Aiko Kurasawa menceritakan dengan detail mengenai proses transformasi sosial yang terjadi di Jawa pada masa pendudukan Jepang. Batasan Awal penelitiannya adalah 1942 disaat Jepang mulai memasuki wilayah Indonesia sebagai bagian dari proses ekspansi Fasisme Jepang di wilayah Asia Timur Raya. Batasan akhir dari penelitian ini adalah 1945 disaat Jepang terpaksa menyerah tanpa syarat kepada sekutu pasca pengeboman Nagasaki dan Hirosima sehingga berdampak pula pada pengambil alihan kekuasaan di Indonesia oleh para tokoh Proklamasi dan menyebabkan Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Profesor bidang Sejarah Sosial Ekonomi ini membagi bukunya kedalam tiga bagian yang saling berkesinambungan satu sama lain dan akan penulis paparkan satu persatu. Dengan membaca bagian-bagian itu secara runut dari pertama hingga akhir, pembaca akan memahami dengan jelas bahwa narasi pendudukan Jepang di Jawa memang bertujuan untuk mengeksploitasi sumber daya alam juga sumber daya manusia –khususnya di Jawa- untuk memenangkan perang di Asia Tenggara.
Bagian Pertama : Dampak Kebijakan Jepang terhadap Desa
Pada bagian ini, nampak sekali bahwa Aiko menggunakan pendekatan struktural, sebab kebijakan-kebijakan yang dilakukan Jepang merupakan jawaban atas fenomena global yang sedang terjadi di dunia pada masa itu ; perang Dunia II. Jepang merespon fenomena tersebut dengan membuat beberapa kebijakan yang dampaknya sangat terasa di berbagai desa di Jawa.
Melipatgandakan hasil
Slogan yang kerap didengung-dengungkan oleh Jepang terkait dengan pertanian adalah melipatgandakan hasil. Program ini dilakukan Jepang karena melihat potensi Jawa yang luar bisa besar dengan tanah pertanian relatif subur serta tenaga kerja intensif yang banyak. Kebijakan melipatgandakan hasil berada dalam doktrin Kinkyu Shokuryo Taisaku ( Tindakan-tindakan mendesak mengenai bahan makanan). Di bawah peraturan ini, program pemerintah dalam meningkatkan produksi makanan dipusatkan pada (a) pengenalan jenis padi baru, (b) inovasi teknik-teknik penanaman, (c) propaganda dan latihan yang ditujukan bagi petani.
Sebelum kedatangan Jepang, pertanian di Jawa umumnya hanya mengenal dua jenis padi yaitu padi cere (padi yang tidak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Masyarakat di Jawa umumnya lebuh menyukai padi bulu dikarenakan rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan padi cere. Namun bagi pemerintah Jepang, padi bulu dianggap kurang sejalan dengan kepentingannya, sebab padi Bulu tingkat produksinya lebih rendah dari padi cere, dan tingkat ketahanan terhadap musim keringnya lebih rendah.
Menyikapi hal tersebut, Jepang melaukan penelitian intensif di Bogor, Noji Shinkenjo (Stasiun percobaan pertanian). Hasilnya adalah, salah satu jenis padi yang ditawarkan oleh stasiun ini adalah beras horai Taiwan. Padi ini direkomendasikan karena waktu untuk memanennya lebih pendek sehingga kebutuhan produksi beras yang banyak bisa tercukupi dengan baik. Pemerintah Jepang menunjuk beberapa karesidenan seperti Cirebon dan Kedu untuk menanam bibit padi baru ini, dan bibitnya dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Jepang juga memperkenalkan inovasi teknik penanaman padi pada masyarakat pertanian di Jawa. Sebelum kedatangan Jepang, para petani terbiasa menanam dengan acak (tidak menurut garis lurus) hal ini menurut Jepang menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas pertanian, sehingga Jepang mengenalkan sistem penanaman padi secara garis lurus dengan jarak tanam tertentu di antara bibit-bibit tersebut. Pada masyarakat pertanian hal ini diistilahkan dengan Larikan.
Jarak tanam yang ideal untuk pertanian di Indonesia adalah 20cm, dalam rangka memudahkan pengukurannya, dua orang petani diminta memegang sebuah tali panjang dengan simpul pada setiap 20cm. Kemudian petani lainnya menanam satu demi satu menurut tanda-tanda pada tali tersebut. Kedalaman bibit pun diperintahkan agar tidak lebih dari 2cm, serta jangan membiarkan tanaman terlalu besar ditempat pembibitan sebelum dipindahkan dengan waktu ideal 20 dan 25 hari setelah penebaran bibit.
Pada sektor perkebunan, Jepang juga melarang konsep penanaman tumpang sari. Sebelum kedatangan Jepang masyarakat Jawa biasa menanam lebih dari satu jenis tanaman pada satu wilayah tertentu, dengan tujuan agar jika terjadi cuaca yang tidak diharapkan dan satu jenis tanaman rusak, maka masih ada jenis tanaman lainnya yang dapat diharapkan. Sikap Jepang yang malarang tumpang sari, bahkan tidak segan untuk memerintahkan petani agar mencabut salah satu tanamannya menimbulkan ketidak sukaan masyarakat petani pada Jepang.
Kebencian petani pada Jepang menimbulkan keinginan balas dendam, sehingga menurut Aiko ketika Jepang menyerah sempat terjadi pembunuhan kepada Kucho (kepala desa) dikecamatan Manisrenggo Kabupaten Klaten, ia terbunuh karena sering bertindak keras terhadap petani dalam melarang tumpang sari.
Seluruh rangkaian yang telah penulis ulas di atas pada akhirnya menyebabkan transformasi pertanian. Masyarakat petani semakin memahami tentang berbagai cara meningkatkan produksi pertanian di lahan mereka, namun apakah kegiatan meningkatkan hasil produksi ini berhasil? ternyata tidak!
Hasil produksi pertanian pada masa Jepang ternyata jauh dari hasil yang diharapkan, dengan berbagai upaya yang telah dilakukan ternyata produksi padi justru mengalami penurunan setiap tahunnya selamasa masa pendudukan Jepang. Sebab konsep pertanian yang telah dirancang dengan baik oleh para insinyur pertanian Jepang tidak selalu sejalan dengan kehendak pemerintah Militer serta Iklim dan cuaca selama pendudukan Jepang.
Selama kurun waktu 1944 di wilayah Asia Tenggara curah hujan relatif rendah, hal ini mengakibatkan kondisi pertanian relatif menurun. Namun sejatinya, faktor cuaca bukanlah sebab utama penurunan produksi pertanian. Menurut Aiko terdapat beberapa faktor yang menyebabkan produksi pertanian menurun diantaranya adalah :
1. Kelangsungan Tenaga Kerja
Banyak petani laki-laki yang berbadan sehat pada masa Jepang dimobilisasi untuk pembangunan proyek-proyek pertahanan. Mereka dipekerjakan untuk membangun benteng, lubang perlindungan di pegunungan, menjadi Romusha serta mengikuti latihan semi militer sehingga waktu intensif para petani ini untuk mengatasi pertanian relatif rendah.
2. Kelangkaan sapi
Kelangkaan sapi karena kepentingan militer juga membuat pertanian menjadi kurang efektif. Pada masa pendudukan Jepang, beberapa desa harus menyerahkan dua ekor sapi kepada Jepang, selain itu disebuah desa tiap KK hanya diperkenankan memiliki satu ekor sapi, biaya sewa sapi pun menjadi mahal. Karenanya aktivitas pembajakan tanah tidak berlangsung dengan baik.
3. Hama Tikus dan memburuknya infrastruktur
Faktor hama dan buruknya infrastruktur juga menjadi beberapa alasan yang turut serta menjawab pertanyaan tentang menurunnya produksi pertanian pada masa Jepang.
4. Faktor Komunikasi antara petugas lapangan dengan Pejabat Militer
Dalam pembuatan kebijakan pertanian di Jawa ternyata pandagangan para ahli-ahli pertanian kurang mendapatkan tempat sebab akses komunikasi para insinyur pertanian dengan kolonel di markas besarnya sangat renggang, bahkan seorang insinyur yang diwawancarai oleh Aiko menyatakan bahwa tidak ada komunikasi antara pimpinan militer tertinggi dan pejabat di lapangan.
Kebijakan wajib serah padi yang berlangsung pada masa Jepang juga dibahas pada bagian pertama, Aiko menjelaskan dengan lugas mengenai kerangka kebijakan beras Jepang hingga dampak yang dirasakan oleh banyak petani di Jawa seperti kemiskinan dan berbagai penderitaan lainnya.
Pada bagian ini juga Aiko memaparkan tentang kebijakan tenaga kerja Jepang dalam rangka pembangunan infrasruktur yang akan meningkatkan hasil produksi. Kebijakan tenaga kerja ini yang kelak dikenal dengan istilah Romusha yang bermakna seorang pekerja (mayoritas petani desa) yang melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar.
Dalam rangka mengendalikan Massa dan juga ekonomi, Jepang membuat kebijakan Tonarigumi dan Kumiai. Tonarigumi atau rukun tetangga diumumkan pertama kali pada 11 Januari 1944. Bagi Jepang, Tonarigumi merupakan unit terrendah untuk melakukan kontrol dan memobilisasi penduduk (hal. 211).
Kumiai adalah koperasi gaya Jepang, menurut Aiko Kumiai bertindak sebagai unit dasar untuk memanipulasi seluruh struktur perekonomian yang dikendalikan semasa perang. Dengan kebijakan ini, pada agustus 1943 jumlah koperasi di Karesidenan Priangan (Jawa barat, pen.) meningkat dari 311 menjadi 390 dan terus meningkat hingga akhir 1944.
Bagian kedua : Usaha propaganda dan mobilisasi penduduk
Pada bagian ini Aiko banyak mengulas tentang berbagai media dan teknik propaganda Jepang untuk melancarkan misinya di Indonesia. Pada bagian ini Aiko menggunakan pendekatan Strukturis dengan memadankan Stuktural dan Individual. Struktur berupa kebijakan propaganda, dan Individual (Agen) berupa mobilisasi dan Indoktrinasi terhadap para ulama di Indonesia melalui program Latihan Alim Ulama yang diselenggarakan oleh pemerintahan militer Jepang.
Ada satu hal yang perlu kita pelajari tentang cara pandang Jepang terhadap Islam. Sejatinya upaya Jepang mempelajari Islam sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum pendudukan pada 1942, hal ini disebabkan oleh Jumlah warga Jepang yang beragama Islam sangat minim sehingga pengetahuan Jepang mengenai Islam pun tidak banyak.
Minat pemerintah Jepang untuk mempelajari Islam menurut Aiko telah berlangsung sejak 1930-an, ditandai dengan pengiriman pertama rombongan mahasiswa Jepang yang akan belajar ke Mesir dan Arab pada tahun 1935, serta pembangunan Masjid di Kobe dan Tokyo pada 1938. Bahkan di Tahun yang sama diselenggarakan sebuah Konferensi Islam sedunia di Tokyo.
Ketika memasuki Indonesia, maka modal pengetahuan Jepang tentang Islam sedikit bermanfaat bagi mereka, itulah sebabnya Jepang menaruh perhatian khusus dan juga “ketakutan” pada kekuatan Islam di Indonesia. Sejarah panjang perjuangan Islam melawan kolonialisme sejak Portugis hingga Belanda agaknya menjadi bahan inspirasi Jepang dalam membuat propaganda dan meminimalisir potensi perlawanan yang akan dilakukan oleh para ulama di Indonesia.
Ketakutan terhadap Islam juga nampak dari Dokumen Senryochi Gunsei Fisshi Yoko “Prinsip-prinsip mengenai pemerintahan militer di Wilayah Pendudukan” yang dikeluarkan pada 14 Maret 1942. Adapun salah satu point yang disampaikan adalah :
Agama-agama, sebagaimana kebiasaan yang ada dan berlaku, harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat dan membuat mereka mau bekerja sama. Mengenai kaum muslim, harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkram pikiran rakyat.
Bagaimana Jepang mengeliminir potensi perlawanan Muslim di Indonesia? pertanyaan ini cukup terjawab dari berbagai dokumen yang ditemukan oleh Aiko dalam bukunya. Selama masa masa pendudukan, Jepang melakukan 17 kali kursus Latihan Alim Ulama. Dalam kurun waktu tersebut sebanyak 1021 ulama telah menjadi alumni kursus yang diselenggarakan selama sebulan. data menunjukkan Jumlah terbesar adalah Karesidenan Cirebon sebanyak 80 peserta, sedangkan Karesidenan Surakarta menempati jumlah terkecil yaitu 36 peserta.
Tujuan akhir yang diharapkan Jepang usai mengikuti kursus ini adalah para ulama yang umumnya menjadi simpul masyarakat akar rumput menjadi agen-agen propaganda Jepang dan menyuarakan prinsip-prinsip kooperatif terhadap Jepang. Aiko juga menggambarkan mengenai struktur kurikulum kursus yang diberikan dan cenderung mengarahkan pada upaya memanfaatkan Indonesia sebagai bagian dari pendukung Jepang dalam perang dunia II.
Usai mengikuti kursus peserta mendapatkan semacam ijazah yang kemudian justru memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi psikologis sebagai bukti telah mengikuti pelatihan Jepang dan membuat gambaran di masyarakat “seakan-akan” Kyai yang telah mengikuti kursus tersebut adalah orang-orang yang kooperatif dan mau bekerja sama dengan Jepang. dan kedua, Dimensi sosial yang justru sangat bermanfaat bagi para ulama yang anti dengan Jepang. Disaat ada dinas pemerintah setempat yang berusaha mencampuri rapat-rapat serta ceramah keagamaannya, Ijazah tersebut berguna sebagai bukti legal formal bahwa yang bersangkutan diperkenankan untuk bergerak dengan leluasa karena telah diizinkan Jepang.
Bagian Ketiga : Masyarakat Desa Terguncang
Pada bagian akhir ini, Aiko Kurasawa mulai menjelaskan tentang titik balik dari pendudukan Jepang di Jawa. Jika pada bagian pertama kita dapat melihat proses penetrasi dan adaptasi Jepang dengan karakter Indonesia dan pada bagian kedua kita dapat melihat kebijakan-kebijakan Jepang untuk “menjaga” Jawa tetap kondusif, maka pada bagian akhir ini pembaca akan mulai melihat gerakan-gerakan yang mengarah pada upaya pengusiran Jepang dari Indonesia.
Skema pergerakan hingga akhirnya berujung pemberontakan diawali dengan Transformasi yang terjadi pada pangreh praja. Pangreh Praja yang secara harfiah berarti penguasa kerajaan pada masa Belanda di jaga dengan baik, sebab Pangreh Praja berada pada persimpangan antara kekuasaan Kolonial Belanda dengan kekuasaan tradisional.
Pangreh Praja di akar rumput pada masa Belanda adalah orang-orang dari golongan Priyai yang dapat dimanfaatkan sebagai kepanjangan tangan kolonial Belanda. Dengan demikian terjadi suatu koalisi kekuasaan yang unik, yakni Pangreh Praja sebagai penguasa tradisional langsung Masyarakat dan Belanda sebagai penguasa tidak langsung masyarakat. Meskipun demikian, tetap terjadi perbedaan gaji antara penguasa Belanda dengan pribumi pada level yang sama, sebagaimana dipaparkan Aiko sebagai berikut :
Pribumi
Eropa
Regent/Bupati F. 12.000
Asisten Resident F.7.200
Wedana F. 2.500
Controleur F. 3.600-4.800
Asisten Wedana 780-1.200
Aspirant Controleur F. 2.700
Pangreh Praja pada Masa Jepang
Pangreh Praja pada masa Jepang mulai mengalami transformasi. Karena di masa ini Jepang seringkali mengambil posisi bertentangan dengan Pangreh praja, bagi Jepang Pangreh Praja tak ubahnya dengan “antek-antek barat” yang telah sangat terpengaruh oleh kebudayaan barat dalam cara berfikirnya, pola tingkah laku maupun gaya hidupnya sehingga tampak terlihat sebagai orang-orang yang pro Belanda dan sangat feodal.
Melihat fenomena ini, Jepang cenderung mengambil peluang bekerja sama dengan kelompok yang dianggap lebih kooperatif dan terasingkan pada masa Belanda. Diantara kelompok-kelompok tersebut adalah golongan nasionalis dan Islam. kebijakan ini menimbulkan dua dampak sekaligus, yaitu terbukanya peluang bagi golongan Nasionalis dan Islam serta diwaktu yang bersamaan turunlah pula status Pangreh Praja.
Turunnya status pangreh praja harus dimaknai dengan turunnya salah satu dari dua status yang selama masa kolonial Belanda melekat pada mereka. dua status tersebut adalah status “Raja kecil” atau simpul-simpul masyarakat tradisional yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat, serta status “Pegawai negeri” yakni, pembantu pekerjaan pemerintahan kolonial.
Pangreh Praja pada masa Jepang hanya memiliki satu status saja, yakni pegawai negeri. Ststus raja kecil dihilangkan, pola pemilihan pangreh praja pun tidak lagi berdasarkan aspek keturunan priyai atau non-priyai, melainkan kompetensi yang dimiliki. Hal ini tentu sangat membantu Jepang, sebab disaat kapasitas dan kompetensi pangreh praja di masa Jepang ditingkatkan, disaat itu pangreh praja yang dimiliki Jepang adalah pangreh praja yang cakap dalam bekerja.
Staf administrasi berkebangsaan Belanda pada masa Belanda jauh lebih banyak daripada golongan pribumi. Sebaliknya, di masa Jepang staf pribumi jauh lebih banyak, terlebih lagi disuasana perang dunia II yang mengalami pasang surut dan seringkali jalur laut bermasalah, dengan kondisi yang buruk, komunikasi antara Jepang dengan jawa pun memburuk sehingga pemerintah Jepang pada saat itu sangat bergantung kepada para pegawai negeri di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, peran-peran kunci yang pada awalnya diberikan kepada golongan nasionalis dan Islam mengalami banyak hambatan ketika akan masuk ke akar rumput. Propaganda-propaganda yang “dititipkan” Jepang kepada dua kelompok ini terhambat ketika masuk ke wilayah akar rumput. Misalnya, ketika Jepang melakukan perekrutan Romusha di kalangan petani-petani Jawa.
Pada tahap awal indoktrinasi peran golongan nasionalis dan Islam dianggap cukup efektif, namun ketika masuk pada tahapan mobilisasi golongan nasionalis dan Islam dianggap tidak mampu melakukannya. Hal ini menggambarkan bahwa ada suatu batas antara dunia golongan nasionalis dan para petani, Bahkan Aiko menyatakan bahwa pernah ia bertanya pada beberapa kelompok petani desa apakah mereka pernah mendengar nama Sukarno sebelum proklamasi kemerdekaan? hampir seluruh penduduk desa menyatakan belum pernah mendengar nama Sukarno.
Melihat fenomena ini Jepang meningkatkan peran para Pangreh Praja, dalam hal perekrutan Romusha misalnya peran pangreh Praja diarahkan terutama untuk menangani pendaftaran dan pengangkutan mereka. demikian juga seterusnya, dalam proses pembentukan Keibodan dan seinenden serta organisasi semi militer lainnya peran pangreh Praja cukup bisa diandalkan oleh pemerintah Jepang.
Sebagaimana telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya, Pangreh praja dimasa Jepang mengalami pengurangan makna, sebab mereka dijadikan sebatas pegawai negeri oleh Jepang. apakah kemudian para pangreh Praja ini menuruti kehendak Jepang? nyatanya tidak selalu, hal ini disebabkan oleh dilema yang dihadapi banyak pangreh praja.
Derajat Pangreh Praja
“Pangkate Ratu, Cangkeme Asu” –Berpangkat Raja, bermulut Anjing- Kalimat yang kasar ini kerap muncul sebagai hujatan dari kalangan petani kepada pangreh praja. Mengapa demikian? Pangreh Praja di masa Jepang “dipaksa” untuk menghilangkan sifat feodal mereka. Kehidupan yang mewah, mobil yang layak, perhiasan yang melekat di lengan mereka dihilangkan dengan berbagai aturan Jepang terhadap pangreh Praja. Bahkan dalam beberapa situasi Pangreh Praja harus melakukan urusan-urusan teknis seperti terjun ke sawah, mengumpulkan padi hasil pertanian dari lumbung-lumbung pertanian.
Mobil yang dimiliki oleh pangreh praja juga harus diserahkan kepada Jepang, hal ini membuat status pangreh Praja di mata masyarakat terus menurun disaat kebencian masyarakat terhadap pangreh praja meningkat. Kondisi harus mematuhi Jepang dan diturunkan statusnya menurut Aiko mengakibatkan kinerja Pangreh Praja kian menurun hingga akhirnya terjadi krisis kepemimpinan di berbagai desa di Indonesia.
Krisis kepemimpinan ini dengan sendirinya membuka celah kemunculan pemimpin-pemimpin alternatif yang mampu memobilisasi massa dan menanamkan kebencian kepada Jepang. pada kondisi seperti inilah kemudian figur-figur ulama dan kyai di banyak pesantren menguat sehingga banyak diantara mereka yang pada akhir masa perang menjadi motor-motor penggerak pemberontakan kepada Jepang hingga akhirnya Jepang meninggalkan Indonesia.